Keanekaragaman budaya suatu bangsa harus dihargai dan dilestarikan. Dalam konteks Indonesia, keanekaragaman budaya justru merupakan identitas bangsa dan dapat menjadi kekuatan bangsa.
”Unesco telah mengeluarkan Deklarasi Unesco tentang Keanekaragaman Budaya. Ini menegaskan kembali pentingnya dialog antarbudaya untuk mewujudkan perdamaian dunia,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, I Gusti Putu Laksaguna saat membuka workshop dan peluncuran poster ”Keanekaragaman Budaya” di Galeri Nasional Jakarta, Tampil sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut, antara lain, Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia, Djaffar Assegaf (dari Harian Media Indonesia), dan Himalchuli Gurung (Programme Specialist for Culture Unesco).
Dalam pemaparan Direktur Jenderal Unesco Koichiro Matsuura dalam makalahnya yang dibawakan oleh Himalchuli Gurung dari Unesco, disebutkan bahwa pada 2 November 2001 di Paris, Perancis, Unesco telah mengeluarkan Deklarasi tentang Keanekaragaman Budaya.
Deklarasi tersebut mempunyai dua tujuan yakni melestarikan keanekawarnaan budaya sebagai harta hidup yang dapat diperbarui sehingga tidak boleh dianggap warisan yang tidak berubah, melainkan sebagai proses yang menjamin kelangsungan hidup manusia. Tujuan lain adalah untuk menghindari segregasi dan fundamentalisme yang ingin menghalalkan perbedaan atas nama kebudayaan sehingga bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Unesco tersebut diterima secara bulat dalam sesi ke-31 Konferensi Umum Unesco yang merupakan pertemuan pertama tingkat menteri sesudah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Sidang ini merupakan kesempatan bagi negara-negara untuk menyatakan kembali keyakinannya bahwa dialog antarbudaya adalah jaminan terbaik perdamaian dan menolak sama sekali teori bahwa benturan antarbudaya dan antarperadaban tidak dapat dihindari.
Deklarasi Unesco ini mengangkat keanekawarnaan budaya sampai tingkat ”warisan bersama manusia” yang dibutuhkan manusia seperti halnya biodiversitas dibutuhkan oleh ”alam” dan menjadikan pertahanan keanekawarnaan budaya sebagai keharusan etis yang tak terpisahkan dari kehormatan martabat individu.
Deklarasi menjelaskan bahwa setiap individu harus mengakui bukan hanya perbedaan dalam segala bentuknya, akan tetapi, juga pluralitas identitas pribadinya di tengah berbagai masyarakat yang dengan sendirinya bersifat plural. Hanya dengan cara inilah keanekaragaman budaya dapat dilestarikan sebagai proses penyesuaian serta kemampuan untuk ekspresi, kreasi dan inovasi.
Dalam kaitan dengan keanekaragaman budaya Indonesia, Edi Sedyawati menyatakan, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah menghimpun, mengemas dan menyebarluaskan informasi budaya yang dapat memacu kesadaran khalayak akan hakikat keanekaragaman yang ada di dalam bangsa ini.
Sasarannya adalah pemahaman yang benar atas kebudayaan yang beranekaragam itu, baik secara horizontal dari suku-suku bangsa ke suku-suku bangsa lainnya, maupun secara dimensi cakupannya dari yang etnik, nasional dan global.
Sasaran lainnya adalah penumbuhan rasa hormat dan penghargaan kepada pihak-pihak yang berbeda budaya, dan dengan demikian tumbuh kompetensi untuk tolerasi.
Juga diharapkan munculnya kesadaran memiliki kebudayaan bangsa sendiri (termasuk kebudayaan suku-suku bangsa di dalamnya) yang patut dihargai dan tidak harus direndahkan di hadapan apa yang disebut kebudayaan ”barat” atau ”modern”.
”Unesco telah mengeluarkan Deklarasi Unesco tentang Keanekaragaman Budaya. Ini menegaskan kembali pentingnya dialog antarbudaya untuk mewujudkan perdamaian dunia,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, I Gusti Putu Laksaguna saat membuka workshop dan peluncuran poster ”Keanekaragaman Budaya” di Galeri Nasional Jakarta, Tampil sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut, antara lain, Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia, Djaffar Assegaf (dari Harian Media Indonesia), dan Himalchuli Gurung (Programme Specialist for Culture Unesco).
Dalam pemaparan Direktur Jenderal Unesco Koichiro Matsuura dalam makalahnya yang dibawakan oleh Himalchuli Gurung dari Unesco, disebutkan bahwa pada 2 November 2001 di Paris, Perancis, Unesco telah mengeluarkan Deklarasi tentang Keanekaragaman Budaya.
Deklarasi tersebut mempunyai dua tujuan yakni melestarikan keanekawarnaan budaya sebagai harta hidup yang dapat diperbarui sehingga tidak boleh dianggap warisan yang tidak berubah, melainkan sebagai proses yang menjamin kelangsungan hidup manusia. Tujuan lain adalah untuk menghindari segregasi dan fundamentalisme yang ingin menghalalkan perbedaan atas nama kebudayaan sehingga bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Unesco tersebut diterima secara bulat dalam sesi ke-31 Konferensi Umum Unesco yang merupakan pertemuan pertama tingkat menteri sesudah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Sidang ini merupakan kesempatan bagi negara-negara untuk menyatakan kembali keyakinannya bahwa dialog antarbudaya adalah jaminan terbaik perdamaian dan menolak sama sekali teori bahwa benturan antarbudaya dan antarperadaban tidak dapat dihindari.
Deklarasi Unesco ini mengangkat keanekawarnaan budaya sampai tingkat ”warisan bersama manusia” yang dibutuhkan manusia seperti halnya biodiversitas dibutuhkan oleh ”alam” dan menjadikan pertahanan keanekawarnaan budaya sebagai keharusan etis yang tak terpisahkan dari kehormatan martabat individu.
Deklarasi menjelaskan bahwa setiap individu harus mengakui bukan hanya perbedaan dalam segala bentuknya, akan tetapi, juga pluralitas identitas pribadinya di tengah berbagai masyarakat yang dengan sendirinya bersifat plural. Hanya dengan cara inilah keanekaragaman budaya dapat dilestarikan sebagai proses penyesuaian serta kemampuan untuk ekspresi, kreasi dan inovasi.
Dalam kaitan dengan keanekaragaman budaya Indonesia, Edi Sedyawati menyatakan, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah menghimpun, mengemas dan menyebarluaskan informasi budaya yang dapat memacu kesadaran khalayak akan hakikat keanekaragaman yang ada di dalam bangsa ini.
Sasarannya adalah pemahaman yang benar atas kebudayaan yang beranekaragam itu, baik secara horizontal dari suku-suku bangsa ke suku-suku bangsa lainnya, maupun secara dimensi cakupannya dari yang etnik, nasional dan global.
Sasaran lainnya adalah penumbuhan rasa hormat dan penghargaan kepada pihak-pihak yang berbeda budaya, dan dengan demikian tumbuh kompetensi untuk tolerasi.
Juga diharapkan munculnya kesadaran memiliki kebudayaan bangsa sendiri (termasuk kebudayaan suku-suku bangsa di dalamnya) yang patut dihargai dan tidak harus direndahkan di hadapan apa yang disebut kebudayaan ”barat” atau ”modern”.
serius2 amat postinganx neng, sempatin mampir di blog w ya <3
BalasHapus